Laman

Sabtu, 18 Juni 2011

Intisari Sebuah Semangat

"Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah,
ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka.
Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya jiwa mereka itu kotor
dan tempat mereka adalah neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa
yang telah mereka kerjakan" (At - Taubah : 95)


Jika cinta dan kemunafikan telah berdiri dalam tempat yang sama,
maka garis tipis antara nurani dan syahwat memang akan sulit untuk
terlihat berbeda. Inilah kisah gemuruh pembantaian, penindasan dan
otoritas dari orang - orang yang tidak pernah mengerti objektifitas
dari "untukmu agamamu dan untukku agamaku"(Qs 109) lalu coba
berkelit dari realitas yang sudah jelas di tulis bahwa Tidak ada
paksaan dalam mengikuti agama Islam (Qs2:256)
.

Tapi sejak Yahudi lebih memilih untuk lebih percaya kepada sapi emas
daripada mematuhi anjuran sang kekasih Allah Nabi Musa As. Maka
sejak itu pula mahkota sejarah mempunyai definisi baru yang isinya
berakhir dalam ketukan palu dan kesepakatan di rumah - rumah para
pakar retorika `kebebasan, persamaan dan persaudaraan' yang tak
pernah mampu belajar dari busuknya sejarah yang selalu di tulis
berdasarkan egosentris paling menjijikan dari para gentiles.

Ceritakanlah tentang jeritan tangis dan rasa kehilangan, kehampaan
dan ketakutan dari teror - teror para ksatria `hak asasi dan
demokrasi', yang menghujani bumi dan tanah leluhur dari para
generasi Syahadatain. Cerita yang tidak ada habisnya dari Ketapel -
ketapel Baitul Maqdis, Iraq, Afghanistan, Khasmir, Chechnya hingga
yang paling up date yaitu api sejarah baru di Beirut Libanon, Patani
Thailan hingga pelarangan jilbab di Perancis. Gambaran nyata bahwa
dunia sedang kembali kepada budaya bar-bar yang memicu ulang energi
sodom dan gomora dalam duet baru antara Abu Jahal dan Gengis Khan.

Dan memang benar jika Allah SWT menghendaki, niscaya seluruh batang
hidung alam semesta ini akan dijadikannya dalam satu warna. Tetapi
Allah memang hendak menguji kita (Qs 5:48). Untuk belajar bahwa
menjadi Islam adalah sebuah sumpah yang setelah itu kamu akan diuji
(Qs 29:2)
. Karena kita memang tidak sedang dididik untuk menjadi
penonton, tapi kita juga dididik untuk mengambil bagian dalam
pertempuran sepanjang masa ini bahwasanya orang - orang yahudi dan
nasrani tidak akan rela kepada Islam hingga Islam mengikuti ajaran
mereka (Qs 2 : 120).
Begitulah misi semesta ini telah mengajarkan
kita pada sebuah panggilan yang akan mengingatkan kita pada
perbedaan yang takkan pernah bersatu tentang definisi haq dan
bathil, karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu
baik bagi kamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu
tidak baik bagimu. Allah Mengetahui sedang kamu tidak mengetahui (Qs
2:216).


Disinilah semangatnya bertarung antara kepentingan jiwa dan nurani
yang kafir melawan nurani yang memahami hakekat dari misi rahmatan
lil `alamin ini, Semangat Abu Jahal melawan semangat Rasulullah SAW,
Semangat paganisme melawan Kalimat Tauhid. Semua sudah di takdirkan,
tongkat estafet dakwah itu sudah diturunkan. Dan ketika misi 23
tahun itu sudah selesai dan lelaki yang menjadi bagian mutlak dari
kesempurnaan semangat tauhid itu harus kembali ke Penciptanya dan
menitipkan cerita baru bagi sejarah emas ini, tentang kisah para
penerus di masa yang akan datang, tentang kelanjutan misi robbani
ini hingga ke penghujung zaman.

Tapi Iblis memang tidak pernah senang kepada Syariat Allah SWT, ia
selalu ada bersama kita dari depan belakang, hingga kanan dan kiri
(Qs 7 : 17).
Meracuni semua aspek dalam kehidupan kita Bisikannya
akan terus menghampiri dan memprovokasi langkah, pemikiran, tingkah
laku kita agar selalu mendustai nikmat Allah SWT (QS 55)
hingga
menghancurkan peradaban kita dan mengingkari sumpah yang di hari
kiamat membuat kita menjadi bagian dari para penghianat yang berkata
sesungguhnya pada saat itu kami lalai (Qs7:172) pada kebenaran Islam
ini dan selalu mendengarkannya sambil bermain - main (Qs21:2).
Keterlambatan penyesalan yang membuat semua manusia terkutuk itu
menyesal dan berharap hidup kembali ke dunia menjadi orang muslim
(Qs 15:2)


maka semangat - semangat kita memang seharusnya diimunisasi ulang
bersama identitas Syahadatnya. Agar ia tidak salah untuk digunakan.
Agar poros pergerakan berbaris rapih seperti bangunan yang kokoh (Qs
61:4).
Karena Syahadat adalah cermin dasar energi, kepribadian dan
gairah hidup keislaman yang tidak bisa di jelaskan dengan
keterbatasan manusia. Supremasi yang mampu mencangkok ulang
peradaban Anshor, Muhajirin dan Kabilah - kabilah Arab untuk
mengerti bawah fanatisme suku, ras dan golongan hanya akan membawa
umat manusia kepada kemudharatan panjang dan semua itu hanya bisa
disatukan dalam ruh keimanan, lalu selanjutnya keimanan itu akan
menghidupkan semangat peradaban baru. Dalam satu payung yang
mengikat semua dalam aturan yang sudah di gariskan bahwa Tidak ada
tuhan selain Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah
SWT.

Dan Syahadatain memang telah membuktikan sejarahnya, Arab yang tidak
pernah dianggap istimewa dalam peta sejarah dunia kini telah berubah
menjadi cahaya baru yang sejukkan semesta dengan intisari peradaban
yang haluan mata airnya dibangun dari pondasi kalimat Tauhid yang
agung, dan teknis pelaksanaannya dibentuk oleh proses bersama sang
suri teladan Rasulullah SAW. disusun bersama strategi yang mengukir
sejarah dalam sebuah semangat yang penuh hentakan yakin untuk
berkata "wahai pamanku, demi Allah, andaikan mereka meletakkan
matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku
meninggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut
binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkan agama ini".
keteguhan Rasullullah SAW yang kini lebih banyak terlupakan itu
seharusnya mampu mengajarkan kita pada lapisan sejarah tentang
ember bocor dari semua syair kebajikan Abu Thalib yang begitu setia
menemani dan melindungi Rasulullah SAW inipun gagal untuk
menyelesaikan misteri seleksi alam itu, hanya karena semangat
kebaikan beliau tidak terimunisasi dengan baik bersama hakekat
syahadatain yang sesungguhnya.

Mari selamilah misteri semangat ini, pertarungan batin di ruang hati
mereka yang terlanjur terjebak dan tidak mampu keluar seleksi
panjang kehidupan dari sesuatu yang sering di anggap proses
pembelajaran, yang disisi lain justru lebih banyak terlihat
mencampuradukan antara hak dan batil. Salimul Aqidah yang kini telah
tercemari oleh orientasi ghanimah dan thagut - thagut berlabel "kita
jugakan harus menghargai latar belakang seseorang'. Ketakutan atas
setiap friksi dan konfrontasi yang kini sudah tidak mampu melihat
hakekat objektifitas yang sebenarnya.

Atau mungkin memang iblis di zaman ini telah ada dalam berbagai
macam bentuk, bahkan merekapun bersyahadat diatas lidah dan bibir
mereka, dan jika mereka bertemu dengan orang yang benar - benar
beriman dan memperjuangkan syariat Allah SWT mereka akan
berkata "kami telah beriman", tetapi apabila mereka kembali kepada
para setan - setan (pemimpin - pemimpin) mereka, mereka
berkata "sesungguhnya kami bersama kamu (setan), kami hanya berolok -
olok" (Qs 2 :14).
Biarkanlah filterisasi alam akan meyeleksi
semuanya. hingga kita dapat melihat pesan dari syair Hudaibiyah
dalam sebuah panggilan Baiat Ridhwah ketika Jadd bin Qais menjadi
penerus Abdullah Bin Ubay yang selanjutnya. Kepengecutan yang
menemami kemunafikan lalu melahirkan ekstremis - ekstremis baru,
yang lebih ekstrem dari para pengecut propaganda yang mengkawinkan
kebebasan dan hak asasi pada kacamata humanisme ala Robin Hood, yang
melawan kedzaliman dengan strategi dari api lilin - lilin yang tidak
mengerti janji tentang keabadian cahaya terang yang sebenarnya.

Hingga persis ketika Perjalanan Risalah ini sampai ketitik akhir
kesempurnaannya dan Umar Bin Khatab ra berkata "Sesungguhnya setelah
kesempurnaan itu hanya ada kekurangan". Ungkapan tulus yang keluar
setelah beliau mendengarkan wahyu Allah SWT yang terakhir dari mulut
Rasulullah SAW "Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama
kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan telah
Kuridhai Islam itu jadi agama kalian" (Qs 5:3)
. Begitulah semangat
dan Syahadatain seharusnya bisa menjadi anugerah keseimbangan, yang
porsi naturalisasinya hanya bisa kau petakan dengan iman dan
keikhlasan nurani. Dan orisinalitasnya hanya bisa kita mulai dengan
ruang - ruang yang penuh dengan marifatulloh lalu hidup pada nilai -
nilai Marifatul sang rasul yang sempurna dan disempurnakan itu. Dan
jika semua itu terlihat sekurang ramalan Umar Ra, mungkin itu semua
karena memang kita sendiri telah lalai akan Syahadat kita. Karena
bisa jadi kita memiliki syahadatnya tapi kita tidak mampu membangun
semangat untuk menghidupinya atau kita memang memiliki semangatnya
tapi kita terlalu `pintar' untuk merenungi harta karun terdahsyat
dari nilai jual tiada taranya dari sebuah semangat hidup yang
dimulai dengan Syahadatain.

"Umat ini tidak bisa di kalahkan oleh umat manapun, ia hanya bisa
dikalahkan oleh dirinya sendiri"
(As Syahid Sheikh Abdullah Azzam Dari Buku Bergabung Bersama Kafilah)

Tegar Di Tengah Badai

Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatau kaum maka tidak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Ar-Ra’d: 11)


Ini adalah perjalanan yang mewarnai gubahan gubahan perasaan, dari lukisan jiwa yang berharap terkaan bisa memberi kepastian. Namun seringnya ada hal – hal yang tak terduga yang terjadi, saat dimana jalan keluar yang datang justru tidak sesuai rencana dan terkaan kita. Sungguh saat – saat seperti itu selalu saja memberikan pencerahan. Karena pada akhirnya nalar memang takkan pernah seratus persen bisa menembus rahasia dari lapisan langit.

Ketika nafas melangkah dalam beragam warna, dan seringkali akalpun masih sulit menerka mana hikmah dan mana kebutaan jiwa. Karena banyak juga kebodohan terlihat bukan karena kita tidak tahu, namun karena kita tidak berani jujur bahwa kita tidak tahu.

Untuk mereka yang terasing dalam pengeroyokan pembenaran. Tak ada kesaksian hakiki selain nurani sejati yang selalu merasa tak berharga jika dia berjalan tak sesuai denyut kompas kejujuran jiwanya. Karena ucapan baginya sebuah pedang, yang ketajamannya terletak pada penerapan kata katanya. Itulah hakikat perlawanan. Ia bertarung antara kejujuran dan ketidakpastian, ia berkata antara kemampuan dan fatamorgana, ia bergelut diantara kesetiaan dan pembangkangan, ia mengasah taring jati dirinya diantara konsekuensi ideologis atau hanya sebuah maha karya utopis. Ia terasing dalam begitu banyak kemungkinan antara berkata tidak atau iya pada kondisi dimana ia harus menaruh senjata, dan lehernya diatas kenyakinan pilihan hidupnya. Karena jatidiri adalah bahan bakar perlawanan, ia bukan euphoria resistensi yang hanya mampu bergumam dalam kata kata tapi ia juga bicara penerapan yang nyata.

Sloganisme adalah keniscayaan, karena itulah salah satu bagian dari seni berpropaganda. Namun sloganisme juga merupakan kebodohan selanjutnya, ketika ia berkata tanpa bisa mengenal dirinya sendiri. Ia berguman dalam secangkir kopi dan rokok yang ia nyalakan tak perduli berapa kali matahari dan bulan bergiliran menukar jam kerjanya, sedangkan ia masih sibuk merakit stagnasi sambil mengunyah gundah dan keresahan yang ia tutupi karena tidak mampu menindak lanjuti ideologi ke fase penerapan, yang semua itu dikarenakan frekuensi nuraninya terlanjur dipenuhi ironi matahati yang ingin menebak isi matahari dengan mikroskop harga diri, yang ia sendiri tidak bisa membedakan mana gengsi mana kejujuran hati.

Maka lawanlah keterbatasan ini, namun jika kau kalah yakinlah itu bukanlah hari final untuk menyerah. Begitu juga ketika kau menang, jangan biarkan bangga menjadi sombong, lalu kita terlalu lemah untuk melepaskan diri dari belenggu hati yang kian kropos dirayapi riya, yang seringkali rayap ini jauh lebih licin mengelabui kita dalam membunuh ruang keikhlasan.

Percayalah hidup hanya di mobilisasi oleh dua hal yaitu doa dan ikhtiar. Kedua hal itu terjaga dalam iman dan kenyakinan. Iman dan kenyakinan kitalah yang membentuk aturan aturan hidup kita, dari aturan itu kelak akan ada pembeda antara yang benar dan yang salah. Walau pada sisi yang lain salah dan benar juga merupakan bagian dari apa yang kita sebut kenyakinan. Tinggal masalahnya anda yakin pada apa atau siapa? Mengapa? Karena apa? Untuk apa? Dan lusinan pertanyaan yang mendarat dalam nurani kita.

Ada sebuah kisah nyata tentang seorang akhwat yang begitu militan dalam berjuang di jalan dakwah ini. Ia bukan hanya akhwat, tapi ia juga memiliki cukup binaan untuk disebut Ustadzah. Dalam perjalanannya ia menikah dengan seorang Ikhwan yang cukup ‘mapan’ dilihat dari penghasilan Ikhwan itu bekerja disuatu perusahaan.

Pernikahan mereka begitu wah bukan sekedar karena biaya besarnya, namun juga dikarenakan pernikahan mereka juga menjadi bahan pembicaraan, mungkin…pada saat itu banyak yang iri karena kedua pasangan dianggap punya kelas tersendiri di komunitasnya.

Hingga tiba disuatu masa, sang suami harus berhenti dari pekerjaan karena suatu alasan. Goyanglah pondasi ekonomi rumah tangga. Suasana rumah yang biasanya begitu mesra nan romantis berubah menjadi sensitif.

Dihari dimana saya harus bertahan diantara keterbatasan hidup saya, saya bertemu dengan ikhwan tersebut. Saya lihat raut wajah yang berbeda, saya seperti kehilangan keceriaan yang biasa saya lihat dari dirinya. Sepulang dari silahturahmi itu, ikhwan tersebut berdiri dipintu rumah sambil menatap saya, lalu ia berkata :

“doain ya akh..pernikahan ana sudah di ujung tanduk”

Serentak seluruh badan saya kaget mata saya menatap terkejut. Singkatnya sudah tidak ada kecocokan. Bahkan yang lebih extreme lagi sang Mujahidah itu enggan untuk melayani sang suami sebelum si suami itu punya penghasilan minimal 1 juta perbulan.

Dan saat itu pula saya tertunduk haru, gundah, sedih berkecamuk menjadi satu. Kadang kita merasa bahwa kita adalah orang yang paling susah di dunia ini, namun kita juga sering lupa dibelahan bumi ada begitu banyak saudara kita yang mungkin tidak bisa menikmati sholat subuh setenang kita yang masih memiliki begitu banyak kesempatan, untuk beranjak menuju masjid. Bahkan karena begitu longgarnya suasana tidak sedikit dari kita yang terbiasa melaksanakan subuh di rumah saja, karena lelap telah menenggelamkan kita dalam kelalaian untuk tidak berjamaah di Masjid.

Padahal pada saat yang sama ada cerita tentang mortir dan peluru yang melubangi lusinan tanah dan tubuh di belahan bumi jihad di sisi lain dunia ini. Ada lusinan anak kecil yang kehilangan orang tuanya karena tirani fasisme dari topeng demokrasi, yang justru anak anak itu mampu menghafalkan Al Quran jauh lebih banyak dari kita, terutama diri saya ini.

Di kereta itu saya melamun panjang, memikirkan diri saya, istri saya, teman- teman saya dan saudara saudara seiman diantara ragam fenomena pergolakan gerakan Islam. Tentang kisah daun – daun yang berguguran, entah gugur karena lelah, atau berkhianat bahkan ada yang tidak sadar ia sudah gugur dalam baju pejabat parlemen berlabel partai islam dalam bingkai kompromi thagut dan nostalgia pembenaran, yang makin rutin memupuk pembenaran atas nama agama dan kemaslahatan. Yang pada akhirnya hanya mengeluarkan jawaban yang sama kalau tidak mau dibilang kehabisan dalil tapi mau banyak berdalih menutupi keterbatasan. Menjadikan fitnah sebagai argument, namun mengelakan fakta demi nama baik jamaah.

Untuk setiap keterasingan saya menulis ini, karena dalam keterasingan saya belajar tentang ketangguhan. Ketika begitu banyak orang terjebak dalam kegalauan antara kontradiksi mungkin dan tidak mungkin. Namun keterasingan telah membuat kelemahan bisa menemukan potensinya untuk berdiri menantang badai. Keterasingan bukanlah suatu hal yang buruk, jika kita tahu bahwa Islam juga dimulai dari sebuah keterasingan.

Saya yakin berjamaah bukan sekedar sebuah masalah administrasi ketika anda hendak bergabung dengan sebuah organisasi Islam, namun lebih dari itu, ia adalah kemampuan berbagi bukan hanya pada saat kepentingan memilih dalam sebuah panggung politik praktis, bukan pula dalam kepentingan mengumpulkan massa dalam sebuah rencana demonstrasi. Tapi lebih daripada itu berjamaah adalah sebuah kekuatan yang hidup dari kekuatan aqidah. Dari kesadaran aqidah lahir tanggung jawab ukhuwah. Itulah inti dari persatuan umat Islam. Ia tidak digagas dalam permasalahan bendera organisasi, tapi lebih daripada itu ia adalah kemampuan berbagi, mengisi dan saling menguatkan dari dasar Aqidah tanpa memandang latar belakang golongan, ras atau suku bangsa juga organisasi Islam.

Seperti semua permasalahan hidup yang ada, begitulah keterasingan ternyata harus tetap kita syukuri. Karena dari keterasingan ada pesan ‘Iqro’ yang disampaikan Malaikat Jibril kepada lelaki mulia itu di gua Hira. Maka bacalah dengan kesyukuran jiwamu, dan jika kau peka dalam keterasingan ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil menjadi bekal menuju kehidupan asing yang mengabadikan kebahagiaan di tempat termulia yang Pemiliknya juga selalu dianggap asing oleh mereka yang hatinya penuh dengan dusta dan kebutaan jiwa.

Maka tak usah kau sedih jika ada yang mengasingkan dirimu hanya karena pemikiranmu, idealisme atau semangat yang hidup bersama konsistensi komitmenmu pada keilmuan. Selama kau yakin bahwa kau tidak sedang menodai Al Quran dan As Sunnah, selama kau tidak berniat memecah belah umat, selama kau ingin melawan keopportunisan dunia dengan lusinan kapitalisme dengan atau tanpa baju syariah, Selama engkau memiliki jiwa untuk tidak beramal dengan ketaklitan. Percayalah keterasinganmu adalah anugerah, karena engkau terpilih menjadi bagian dari sejarah sejarah tersembunyi, dan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang bisa melihat dari kejelian tanpa penyakit hati dan dengki.

Karena pada saat itu keterasinganmu telah memberikan engkau ruang besar untuk menggagas rencana besar tentang ilmu dan amal, tentang masa depan, tentang cita cita yang tidak terbatasi dogmatis dan pragmatisme tradisi berlabel norma dan agama. Dan jika ada aturan yang tidak bisa kau lawan, maka pilihannya cuma dua kafir atau menjadi muslim tak kenal kompromi.

Maka pekerjaan keterasingan berbuah dalam sikap yang apa adanya. Maksimal sesuai kemampuannya, ketika selesai ia akan berpikir inovasi lain untuk mendobrak kejenuhan dari variable gerakan untuk menemukan gagasan gagasan baru mengerahkan invasi keruang ruang baru yang selalu dianggap tak bisa ditembus oleh lelucon pragmatisme yang terlanjur menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal demi apa yang mereka sebut strategi dakwah.

Dan disitu pula keterasingan tidak pernah mengajarkan kita melaporkan kebaikan kita pada media jika hanya untuk dipamerkan pada segumpal rongsokan bernama Dunia. Maka kerjakanlah dalam keterasinganmu, apa yang bisa kau kerjakan bagi umat ini. Walau ada dinding keterbatasan yang menghalangi, yang perlu kau lakukan hanyalah yakin. Bahwa tak ada kisah satupun orang beriman yang mati sia sia kecuali mereka beranjak dalam kemuliaan. Semulia Hidupnya atau Semulia kesyahidannya.

Percayalah selalu ada “air zam zam” untukmu, jika kau mau belajar untuk yakin dalam doa dan keistiqomahan ikhtiarmu, dan Siti Hajar sudah merasakan itu ketika ia harus mengikhlaskan kepergian Nabi Ibrahim As untuk menunaikan tugas dakwahnya. Karena sejatinya jika kau memang beriman, maka tak ada keterasingan dalam dirimu selain engkau selalu ditemani oleh sesuatu yang kau yakin bahwa tidak ada tuhan lain selain Allah Swt dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Maka yakinlah tak ada badai yang selamanya…

“Allah tidak membebani melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” Al Baqoroh : 286


Thufail Al Ghifari, Tanjung Priuk - Juli 2008

Air Mata Shiffin


“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar” (QS: Ali ‘Imran : 110)

Hey pecundang kehidupan, para penakut yang menuhankan dunia ini lebih daripada Penciptanya. Para ksatria yang lebih banyak menyembunyikan dusta daripada kebenaran. Kau labelkan dirimu pejuang ketika matamu mulai resah menyikapi realita dan idelogi.

Keresahan itulah yang membuat para pemanah meninggalkan bukit Uhud, lalu membiarkan barisan Rasulullah SAW ditelan oleh kerapuhan – kerapuhan hati yang cengeng. Karena para pejuang itu kini tidak perlu banyak mengasah tombak dan pedangnya. Mereka hanya perlu memaki baju penyeragaman diatas nama pergerakan menjadi komoditas dagang dengan label dakwah dan kebangkitan Islam. Lalu habiskan malam – malam istirahat mereka dengan mimpi akan kejayaan Islam yang mereka slogankan dengan satu stel baju berablem Palestina dan rumus – rumus khawarij yang sudah dicangkok diatas dahan para mutadzillah. Boneka – boneka ashobiyah dengan bemper ‘inikan ta’limat tandzhim’.

Atau pergilah sedikit keseberang kabilah yang lain, dengarkanlah diperang itu, kedengkian telah saling mencibir diantar pedang pendukung Ali Bin Abu Thalib Ra dan Siti Aisyah Ra. Kedua – duanya bicara atas nama Islam dan dakwah, tapi kedua – keduanya juga lupa bahwa setiap mukmin itu bersaudara (Qs 49:10).

Disetiap komunitas taklim dan dzikir, disetiap perkumpulan ilmu Robanni, kini kaum khawarij, Murjiah dan mutadzilah sudah tak perlu lagi berselisih pandang tentang apa itu tekstual dan kontekstual. Karena mereka sekarang mampu merekayasa generasi ini untuk menjalankan setiap ketololan mereka dari kejauhan sejarah. Ketika setiap kita sudah menghidupkan kembali sejarah shiffin dengan kedunguan paradigma dan kepentingan sepihak.

Sejarah nisan Abu Lu’lu’ah Al Majusy, diatas bunga bangkai Kamal Attaturk dan kolosal Abdullah bin Saba dan Abdullah bin Ubay. Ocehan – ocehan airmata shiffin yang kian marak membasahi poros watak kaderisasi generasi selanjutnya. Sambil setiap kata yang tak pernah berhenti mencibir “Bagaimana cara menegakkan khilafah tanpa demokrasi” atau sebagian lainnyapun menjawabnya “ Demokrasi Itu Kufur”. Atau parodi ‘sang ahlulsunnah’ yang mencemooh setiap orang yang dianggapnya pelaku bid’ah sambil mengantongi segenggam KTP yang sering ia perpanjang di kelurahan – kelurahan yang lahir dari demokrasi yang selalu ia anggap kufur itu.

Ketika para ‘pahlawan’ itu menjadi lebih fatal dari retorika puritanis aqidah yang kini berubah menjadi fasis dalam kedangkalan ukhuwah, atau mungkin kita memang sengaja melupakan betapa gemerlapnya kisah kasih sayang Muhajirin dan Anshor serta kabilah – kabilah Arab lainnya, suatu ketika mereka menemukan harga diri yang sebenarnya dalam ikatan keluarga besar Syahadatain yang kini telah lebih banyak di gunting dari dalam barisan umat terbaik(Qs 3:110) itu sendiri.

Maka perhatikanlah silang pendapat ini, menjadi pepesan kosong para khawarij dan mutadzillah. Dengan moderator lusinan murjiah dari kolosal risalah dakwah dengan penonton yang terkotak – kotakan antara si tradisional, si wahabi, si moderat, si awam, si garis keras, si fundamental, si sufi, si habaib, si radikal, si fiqud dakwah dan lusinan pelabelan sempit lainnya.

Kita seperti terpaku dalam kesempitan wacana dan tradisi jamaah ketika umat ini tidak habis – habis dipaksa tunduk pada lusinan tank – tank Zionisme yang merajai televisi rumah kita dengan pemaksaan konsumerisme, sekulerisme, liberalisme habis – habisan juga strategi pecah belah umat yang kian frontal, sementara segelintir perjuangan menghabiskan waktu membicarakan perdebatan Umar Ra dan Abu Bakar Ra tentang shalat malam mereka, padahal kita semua tahu jika ada banyak jalan menuju Roma. Mengapa kita selalu membiarkan diri kita terjebak pada jalan sempit dari paradigma kita dalam menyikapi semua perbedaan yang ada dalam tubuh umat ini.

Rangkaian fakta devide et impera, untuk sang anti yahudi dalam agenda yahudi. Sang patriot sejarah hitam yang kian tenggelam dalam harapan dan bangkai manusia, yang setiap realisasi perjuangannya telah menjadi sebuah wacana tulisan yang bisa diperjual belikan. Persis seperti tulisan ini kelak. Dijual atas nama dakwah, lalu dihabiskan untuk menapaki mata rantai doktrin dan ghibah para aktor yang berharap sejarah dari keriyaan eksistensi. Atau mungkin memang sudah saatnya kita memilih perang terbuka daripada menulis sebuah buku, agar bisa terlihat siapa yang kokoh dan siapa yang sebenarnya munafik.

Maka kibarkanlah bendera harokahmu, kibarkanlah bendera kolektif – kolektifmu. Sampaikanlah salam perjuangan ke setiap barisan perlawanan umat, yang berdiri di garis depan perjuangan yang membasuh setiap keringat diantara tembok – tembok bangunan yang pernah menyaksikan kejayaan Risalah Tauhid ini mengkibarkan rahmatNya ke seluruh alam semesta. Walau kini kibaran sejarah itu hanya bisa kita temukan dalam cerita perpustakaan pribadi para pejuang. Maka bawalah keluar semua energi itu dari sana. Dan kisahkanlah kepada setiap aspal dan trotoar yang terjejaki.

Bahwa hari – hari air mata shiffin ini harus berakhir. Raksasa ini harus dibangunkan, sikap kritis harus dipertahankan, dan semangat belajar, berjuang dan beramal sholeh harus semakin ditingkatkan, menemani energi ukhuwah Islamiyah yang tak hanya dapat kita ukur hanya dengan alur angin dan strategi sang elang. Karena hutan rimba juga milik para harimau, srigala, binatang melata, gajah, hingga tumbuh – tumbuhan. Mereka hidup bersama sesuai dengan fitrahnya dan mengarahkan peradaban pada pembelajaran tentang sinergitas kinerja kehidupan.

Rasakanlah intisari revolusi putih itu kini kian dekat. Lilin – lilin harus segera dimatikan, setiap rumah harus segera dikosongkan, tinggallah saja ibu – ibu para calon syuhada yang ada disana. Melahirkan para kontestan kebaikan yang tidak hanya berteriak tentang kebangkitan umat tapi juga persatuan umat.

Sedangkan yang lain, dengarkanlah panggilan dari garis depan yang telah membuat Handzallah Ra meninggalkan mandi besarnya dari sisi sang istri. Untuk sebuah panggilan mulia. Pertarungan yang tidak mengenal kalah, karena menangnya adalah kejayaan Islam dan matinya adalah Syahid di jalan Allah Swt. Tapi disana bukan tempat para pelacur ashobiyah atau semata pedagang dakwah, disana yang ada hanyalah ketulusan dari orang – orang yang memahami nasionalisme lebih dari sekedar batasan teritorial.

Beginilah kebangsaan yang sangat besar ini lahir karena ikatan karunia Si Pemilik Surga, dan diberikan hanya untuk mereka yang memangkas masa lalunya untuk berjalan diatas dua intisari itu. Maka sudah seharusnya para manusia istimewa ini sadar bahwa mereka telah bersaudara sejak Gua Hira menggores kata pengantarnya yang telah membakar batas ras, kelas, suku bangsa, latar belakang menuju satu masa kemuliaan untuk seluruh alam semesta. Tapi ini hanya untuk mereka yang memang mau untuk belajar membaca. Membaca nurani mata angin dan cahaya penuntun jejak kemuliaan yang maha dahsyat ini. Semoga Allah selalu menjaga hati kita dari niat yang tidak di ridhoiNya.

“Takkan Dapat Berkumpul Debu Dalam Jihad Fi Sabilillah Dengan Asap neraka Jahanam” (HR. Tirmidzy)

Thufail Al Ghifari - Januari 2007